#SerumpunDiaries, Part 13:
Beberapa tahun lalu,
#Chinatown di Kuala Lumpur masih dikenal sebagai kawasan yang dipenuhi barang tiruan. Padahal, daerah ini sempat hampir mati sebelum akhirnya direvitalisasi. Semuanya bermula dari beberapa speakeasy yang mulai menarik perhatian. Seiring waktu, semakin banyak tempat baru bermunculan, hingga akhirnya Chinatown berkembang menjadi destinasi wisata malam yang kita kenal sekarang.
Saya juga sempat mengunjungi beberapa speakeasy ini. Suasananya benar-benar nyaman.
Sebagai seseorang yang lahir dan besar di
#Indonesia, saya cukup terkejut saat mengetahui bahwa Chinatown di Kuala Lumpur berawal dari komunitas penambang timah
#China yang menetap di sana. Hal ini sangat berbeda dari banyak Chinatown lain di
#AsiaTenggara.
#Glodok di
#Jakarta,
#ChợLớn di
#HoChiMinhCity, Chinatown di
#Singapura—semuanya dibentuk oleh penjajah sebagai “zona ekonomi,” istilah yang sebenarnya merujuk pada pemisahan paksa, kontrol politik, pengawasan sosial, dan segregasi rasis. Saya baru benar-benar memahami hal ini setelah menghabiskan beberapa hari menjelajahi salah satu Chinatown besar musim panas lalu bersama sang terkasih saya.
Selama beberapa tahun terakhir, saya sering merenungkan identitas saya sebagai orang
#Asia, terutama setelah melihat bagaimana kaum non-
#MajorityWorld memperlakukan orang-orang yang mirip dengan kita lima tahun yang lalu. Hal inilah yang semakin mendorong saya untuk belajar mencintai tetangga dekat. Oleh karena itu, saya menggunakan hashtag “Serumpun Diaries.” Bagi saya, ini juga merupakan bentuk self-love.
Asia Tenggara memiliki sejarah yang begitu kaya. Saya bersyukur bisa menemukan rumah di
#Nusantara.
#chinatown #kualalumpur #malaysia #bricstourism #alleyways #kwaichaihong #bars #cafés #upandawaymy #windows #selfies #shotoniphone #apple #laterfed #vsco 
